Halaman

Tanpa Gelar, Lulusan SD ini Jadi Ketua Perguruan Tinggi

SUBUH baru saja berlalu ketika empat orang pria dewasa mengelilingi sebuah meja kayu. Di atas meja, terhidang empat gelas kopi panas dan makanan-makanan ringan. Di dalam ruang tamu sebuah rumah beton itu, udara dingin dari luar tetap menusuk kulit.

Namun, bagi keempat orang itu, hidangan yang paling menarik diseruput bukan kopi panas penghangat tubuh. Melainkan dua buah buku agak tipis yang tergeletak di dekat hidangan. Dua buku itu masing-masing berjudul “Ilmu Nahwu Praktis Sistem Belajar 40 Jam” bersampul kuning, dan “Belajar Tashrif Sistem 20 Jam” bersampul hijau.

Kedua buku itu disodorkan oleh penulisnya sendiri, KH Aceng Zakaria, kepada para tamunya. Dengan peci hitam, kemeja batik dibalut jas gelap, dan sarung hijau, kiai ini meladeni obrolan ketiga tamunya, Ahmad Damanik, Ibnu Syafaat, dan Muh. Abdus Syakur. Mereka para awak dari majalah Suara Hidayatullah dan Hidayatullah.com.

Nama Kiai Aceng Zakaria sudah masyhur dalam kancah keilmuan nahwu-sharaf, khususnya di Indonesia. Dia adalah penulis buku terkenal Al-Muyassar Fi ‘Ilm Al-Nahwi. Buku bersampul kuning yang disodorkannya kepada para wartawan adalah edisi terjemahan Al-Muyassar Jilid Pertama.

Sejatinya, buku yang telah ditulis oleh Pimpinan Pondok Pesantren Persatuan Islam (Persis) 99 Rancabango Garut ini bukan cuma itu, bahkan sudah banyak.

“Sekarang sedang nulis buku yang ke-65 kalau nggak salah. Judulnya ‘Problematika Hidup Manusia,” ungkapnya saat dikunjungi di kediamannya, Jalan Rancabango, Kudangsari, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu, akhir Sya’ban 1435 H (28/6/2014).

Dalam silaturahim usai shalat Shubuh berjamaah di masjid pesantrennya, Aceng Zakaria banyak bercerita kisah perjalanan hidupnya menggeluti ilmu nahwu-sharaf. Yang menarik, kiai ini tidak memiliki gelar akademis formal apapun.

Dia menuturkan, sejak duduk di bangku SD dirinya sudah dikondisikan untuk mempelajari berbagai kitab kuning. Maklum, keluarganya berlatar belakang pesantren tradisional. Begitu lulus SD di Babakan Loa, Wanaraja (1961), sekitar 10 kitab telah dia selesaikan, seperti kitab Jurumiyah, Safinah, dan sebagainya.

Sejak lulus SD dia pun mulai menulis, sambil mengajar anak-anak SMP dan SMA di rumahnya setiap habis shalat Shubuh, Ashar, dan Maghrib. Seiring itu, berbagai disiplin ilmu berhasil dia pelajari dengan baik, seperti aqidah, fiqih, nahwu, sharaf, tafsir, hadits, dan lainnya. Saat itu usianya sekitar 14 tahun.

“Siangnya ke sawah, nyabit rumput, bantu orangtua. (Terus berlangsung) sampai usia 20-an tahun,” tutur suami Hj Euis Nurhayati (49) ini.

Namun saat itu, Aceng Zakaria belum punya cita-cita yang kuat mau jadi apa. Yang penting, kenangnya, dia ikut saja disuruh mengaji dan mengajar selama 5 tahunan.

“Saya tidak tertarik untuk sekolah yang formal. Tapi baru saya temukan, ini barangkali pilihan Allah. Kalau masuk sekolah barangkali saya jadi PNS. Ditawari PNS juga saya nggak mau,” tuturnya lantas tertawa.

Setahun Dapat 2 Ijazah

Pada tahun 1965-1969, pria kelahiran Wanaraja, Garut, 11 Oktober 1948 ini terjun ke organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) Garut Timur.

“Sebelum ke Persis, ke PII dulu. Ikut training-training gitu. Tahun 1969 baru saya punya pikiran sendiri ingin sekolah, tanpa disuruh,” tuturnya kepada Hidayatullah.com.

Keinginan Aceng muda untuk sekolah pun disetujui orangtuanya. Atas saran orangtua bibinya, dia pergi berguru ke KH Endang Abdurrahman (Ketua Umum PP Persis saat itu) di Pajagalan, Bandung.

Awalnya saat mendaftar ke Pesantren Persis Pajagalan, Kiai Endang Abdurrahman masih meragukannya, mengingat Aceng tidak memiliki ijazah SMP/sederajat. Namun, setelah mengetahui sepak terjang dan kemampuan calon muridnya, Kiai Endang pun menerima Aceng.

“Jadi tidak dites langsung, saya serahkan saja tulisan-tulisan saya (sebelumnya). Masuknya di Caturwulan III. Caturwulan I nggak bisa karena bukan di awal tahun. Masuk langsung ke Muallimin (tingkatan tertinggi di pondok tersebut. Red), nggak Tsanawiyah lagi,” ungkapnya.

Dia pun belajar di Pajagalan selama 1,5 tahun hingga 1970. Begitu lulus mendapat 2 ijazah sekaligus, untuk tingkat Muallimin dan Tsanawiyah.

Lulus dari Pajagalan, dia meminta saran ke guru-gurunya harus ke mana? Ada yang menyuruhnya pulang ke Garut, ada yang menyarankan jadi politikus, ada pula yang menyarankan lanjut kuliah ke perguruan tinggi. Tapi Kiai Endang melarangnya kuliah.

Alasannya, “Cari ajalah, (apa) ada sarjana yang mau ngajar di diniyah? (Apa) ada sarjana yang mau ngajar di kampung-kampung?” dalih Kiai Endang saat ditanya Aceng kenapa tidak disetujui kuliah.

Akhirnya, Aceng pun memilih mengabdi ke pondoknya Kiai Endang selama lima tahun hingga 1975. Di sela-sela kegiatannya mengajar dan belajar, dia selalu konsisten menulis. Dari hasil tulisan itulah buku-bukunya bermunculan. Buku tersebut ditulis, dicetak, dan diterbitkannya sendiri atas nama Penerbit IBN Azka Press Garut.

“Jadi Muyassar itu hasil pengalaman di lapangan. Modal saya dari kitab-kitab tradisional dan dari Persis juga,” ungkapnya.

Read All Post Here

iklan radar banjarnegara